Drama Mastodon dan Burung Kondor |
Sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1989:109). Hubungan karya sastra dan kenyataan sosial telah menjadi objek yang dikritik sastrawan dengan pandangan bahwa sastra sebagai cerminan dari masayarakat. Hal tersebut mencakup pengertian bahwa sastra mencerminkan kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat dan kalau pengarang memiliki taraf kepekaan tinggi, maka karya sastranya pasti juga mencerminkan kritik sosial yang tersembunyi dalam kehidupan masyarakat (Damono, 1979:4).
Sebagai seorang penyair Rendra menyatakan diri sebagai seorang pemberi pandangan. Pandangan yang melihat dan memahami apa yang terjadi di masa rezim orde baru. Kesaksiannya tersebut ditunjukkan dalam karya sastra yaitu puisi dan drama. Begitu pun juga dengan kumpulan sajaknya yang berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi (1980) yang merupakan kumpulan kesaksiannya pada ke rezim-an penguasa Orde Baru akibat sistem ekonomi yang melahirkan ketidak adilan terhadap rakyat.
Rendra sendiri (2001:124) menyatakan bahwa ia adalah pihak yang tidak anti pembangunan tetapi ia hanya prihatin terhadap pembangunan mental bangsa yang sangat terhambat, sehingga ada ”gap” dengan tuntutan alat-alat pembangunan yang sudah hadir di tengah-tengah masyarakat. Ia pun berpikir kecenderungan seniman yang dianggap sebagai oposan itu adalah bentuk dari sempitnya hubungan manusia di dalam budaya dan belum memberi tempat kepada dialog dan percakapan yang akrab antarsesama. Jadi, kalau sedikit saja kritik dilakukan sudah dianggap membahayakan keutuhan.
Drama Mastodon dan Burung Kondor yang ditulis pada 1973, turut juga menjadi kesaksian Rendra dalam melihat makna pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru. Secara terang-terangan, Rendra sangat mengecam atas rezim dan pemimpinnya yang telah bertindak sewenang-wenangnya dengan kekuatan militer. Khususnya pada segi ruang gerak masyarakat untuk berekspresi dalam kesenian. Bahkan Drama Mastodon dan Burung Kondor ini juga mendapatkan larangan dari pemerintah Orde Baru karena memiliki hubungan erat dengan situasi pada masa rezim Soeharto. Hal tersebut dapat dilihat dari perwatakan dan kemiripan tokoh-tokoh cerita.
Tokoh drama bernama Max Carlos yang memiliki persamaan dengan penguasa Orde Baru. Kemiripan yang diciptakan oleh pengarang ini bukan sekedar pengimajinasian belaka yang dilakukan tanpa tujuan tetapi dalam drama penggambaran tokoh dapat menjadi sebuah tanda kritik terhadap tokoh sesungguhnya di luar karya yang ditulisnya. Max Carlos yang merupakan salah satu tokoh dalam drama yang digambarkan sebagai seorang pemimpin yang selalu menyerukan pembangunan negerinya. Dan pemimpin yang memiliki pengaruh besar di militer tersebut selalu melarang adanya hal-hal yang mengganggu pembangunan negerinya. Pada penceritaan drama tersebut, pemerintahan yang dipegang oleh Max Carlos yang merupakan pemimpin negara yang otoriter. Ia melakukan ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat dengan mengendalikan ruang ekspresi masyarakat. Ia bahkan tidak menerima kritik terhadap dirinya dan pembangunan. Walaupun pembangunan memberikan hasil secara fisik, masyarakat khususnya mahasiswa menyadari bahwa tetap ada ketidakpuasan dalam pembangunan.
Drama Mastodon dan Burung Kondor ditulis oleh Rendra sebenarnya berlatar di Amerika Latin. Latarnya sama sekali tidak dijelaskan di negara mana hanya dikatakan bahwa negara tersebut sudah lama dijajah oleh Spanyol. Selain itu, suasana Amerika Latin tidak hanya dalam bentuk latar tempat, seperti nama wilayah provinsi, tetapi dalam penamaan tokoh pun, pengarang menggunakan nama-nama masyarakat Amerika Latin. Amerika Latin menjadi sebuah bentuk analogi yaitu bentuk persamaan atau persesuaian terhadap dua hal yang berlainan. Rendra sepertinya mencoba buat menganalogikan Indonesia menjadi Amerika Latin. Ia melakukan proses penyesuaian berdasarkan hal yang sudah ada di masa itu, lalu mengubahnya dengan sedikit rekaan dan menghasilkan bentuk baru dari contoh yang telah ada.
Drama ini menceritakan sebagaimana keadaan sosial politik di negara bagian Amerika Selatan yang sedang menghadapi demonstrasi mahasiswa. Mahasiswa tersebut berusaha keras untuk menjatuhkan pemerintahan. Mahasiswa melakukan strategi untuk revolusi yang didukung oleh cendekiawan dan militer. Bahkan samapai ada seorang penyair, Jose Karosta menentang hal tersebut, ia berpendapat bahwa revolusi selayaknya seperti manusia yang mengganti pakaiannya saja sedangkan jiwanya tetap sama. Dalam drama ini, Rendra menggunakan nama binatang seperti semut, tikus, gajah, mastodon, dan burung kondor. Nama-nama binatang ini dapat menjadi simbol yang memiliki makna dalam drama. Simbol yang digunakan pengarang dapat ditafsirkan dengan perilaku manusia dan salah satu cara pengarang dalam melontarkan kritik terhadap penguasa Orde Baru. Kritik dapat disembunyikan melalui simbol walaupun pada dasarnya simbol tersebut akan ditafsirkan dan menghasilkan makna.
Seperti simbol Burung kondor menjadi simbol rakyat kecil dan tikus yang menjadi salah satu simbol binatang yang ditulis Rendra sebagai simbol kritik dengan mastodon yang merupakan seekor gajah yang dijadikan judul sudah memiliki tafsiran lain dan menjadi sebuah simbol kritik, tetapi ia tetap menjelaskan melalui deskripsi cerita dan yang terakhir adalah semut yang dideskripsikan pemerintah dengan koloni yang tidak seperti semut, yang selalu berusaha menciptakan kesatuan dan dengan sungguh menyiapkan serta memperbaiki diri dengan terus bekerja demi kesejahteraan koloninya.
Selain melalui simbol binatang, Rendra melakukan kritik dengan cara mengemas karyanya dalam cerita bernuansa Amerika Latin. Chili menjadi negara Latin yang mengalami keadaan sosial politik yang sama dengan Indonesia pada tahun 1970-an. Dengan latar dan tokoh drama yang bernuansa Latin, Rendra melakukan kritik dengan menjadikan tokoh dalam drama memiliki kemiripan dengan tokoh dalam kenyataan.