Female Silhouette |
Kata
perempuan dalam tinjauan etimologis, berasal dari empu yang berarti
‘tuan’,’orang yang mahir/berkuasa’ ataupun ‘kepala’,’hulu’. Pada konteks
tersebut makna perempuan mendapat tempat kehormatan, lebih bermartabat bukan
diposisi rendah terlebih keberadaan kata perempuan sebagai kaum feminism
semakin dihormati atau bisa dikatakan sejajar dengan kehormatan laki-laki cuma
bedanya ada pada biologisnya. Tapi tahukah anda kalau makna perempuan bisa
menjadi kata benda, dimana pemaknaan kata perempuan diposisikan sebagai objek
yang menunjukkan adanya politik dan kekuasaan patriaki.
Gambaran
perempuan dalam novel the holy womans karya Qaisra Shahraz ini menceritakan
akan isu-isu seputar perempuan yang berada di kekuasaan patriaki, dimana
perempuan selalu ditempatkan sebagai korban. Dimana karakter perempuan fiktif
yang menjadi korban patriaki, yaitu Zarri Beno, putri sulung keluarga tuan
tanah kaya raya di Pakistan, habib khan. Ia dipaksa untuk menjadi seorang
shahzadi ibadat demi menggantikan posisi adiknya, yakni Ja’far yang meninggal.
Shahzadi ibadat merupakan Perempuan suci, zahidah, perempuan yang mengabdikan
seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan, semacam biarawati (Shahraz,
2012:708). Sebagai seorang shahzadi ibadat, membuat ia menjadi seorang
perempuan yang tidak boleh menikah. Dia harus melepaskan impiannya hanya demi
menuruti keinginan Habib, sang ayah.
Tentu
saja hal ini pantut untuk dipertanyakan akan kedudukan dari makna kata perempuan
itu sendiri dimana perempuan yang dapat memberikan kebahagiaan dan ketentraman
untuk keluarganya. Tapi di satu sisi,
perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang
memberikan pengakuan atas femininitas pada khalayaknya sendiri. Dan di sisi
lain, perempuan juga selalu mencari pengakuan atas femininintasnya. Untuk
membangun cintranya melalui pengakuan laki-laki atas dirinya sendiri.
Ferguson
(1977:16) dalam bukunya yang berjudul “Images of Women in Literature”,
menunjukkan berbagai citra perempuan dalam karya sastra, yaitu sebagai
perempuan yang ibu, yang istri, yang perempuan terdidik, yang majikan, yang
wanita penghibur, yang pembantu rumah tangga atau perempuan lainnya. Dari yang
penjelasan Ferguson itu bisa dikategorikan kalau dia mencoba untuk membuat
kriteria perempuan yang ideal dari pandangannya. Penggambaran stereotip tentang
perempuan untuk patuh dan hormat terhadap suami/bapak adalah hal umum untuk
dilakukan oleh perempuan yang diidealkan kalau perempuan itu harus bisa
segalanya walaupun kehidupannya diatur seperti boneka.
Seperti
pada kutipan berikut ini:
My
beautiful Zarri Bano was destined for this fate. Her brother’s death sealed her
future as a Shahzadi Ibadat. This is what has always happened when only sons
died in people of our class; the inheretance then was passed on the next female
member. (Shahraz, 2001:42)
Terjemahan:
Zarri
Banoku yang cantik sudah di takdirkan atas nasibnya ini. Kematian adiknya
menetapkan masa depannya sebagai Shahzadi Ibadat. Inilah yang selalu terjadi
saat para putra tunggal meninggal dunia di kalangan kita. Warisan akan jatuh
pada anggota keluarga perempuan berikutnya – kau tahu itu. (Shahraz, 2001:42)
Kutipan
diatas kita bisa mengkritik akan kedudukan si tokoh Zarri Bano dimana dia harus
mau tidak mau menggantikan kedudukan putra tunggal dari Habib Khan. Dan pada
akhirnya Zarri Bano tidak membenarkan gejala sosial yang terjadi dalam tradisi
keluarganya untuk menjadi perempuan suci. Sebaliknya, Zarri Bano menentang
kenyataan bahwa menjadi perempuan suci adalah sesuatu hal yang tidak normal
baginya. Kehidupan yang normal baginya adalah menjadi perempuan yang dapat
menikah dan dapat memberikan keturunan.
Seperti
pada kutipan berikut ini:
I
want to be a normal woman, Father, and live a normal life! I want to get
married. I am not a very religious person, as you know. I am a
twentieth-century, modern, educated woman. I am not living in the Mughal
period- a pawn in a game of male chess. Don’t you see, Father, I have hardly
ever prayed in my life, not opened the Holy Quran on a regular basis. How can I
become a Holy Woman? I am not suited to that role. Father, I want ….. (Shahraz,
2001:54-55)
Terjemahan:
Aku
ingin menjadi perempuan normal Ayah dan hidup normal! Aku ingin menikah. Aku
bukanlah orang saleh, seperti yang Ayah tahu. Aku seorang perempuan modern yang
terpelajar dari abad kedua puluh. Aku tidak hidup di zaman Mughal – seorang
pion dalam permainan catur kaum lelaki. Tidakkah kau lihat, Ayah, aku jarang
sekali shalat dalam hidupku, tidak juga rajin membuka Al-Quran dan
menggunakannya sebagai pedoman. Bagaimana mungkin kau kemudian menjadi seorang
Perempuan Suci? Aku tidak cocok untuk peranan itu. Aku ingin ….” (Shahraz,
2001:54-55).
Dalam novel the holy womens ini kita bisa mengambil kesimpulan kalau femininitas terhadap perempuan adalah wacana luas yang terus menerus berubah dalam satu periode tertentu. Akibatnya feminitas ini adalah hal yang sangat sensitive untuk dibahas karena ini tidak hanya menyangkut kedudukan perempuan tersebut tapi juga ada factor lainnnya juga seperti tradisi, agama, dan hukum dimana ketiga hal itu kadang bisa berjalan di jalan secara bersama atau tidak berjalan di jalan yang sama di satu periode.